#7

[#7] INKLUSI?

(Ulit membuat kita sulit, dan mudah karena berjemaah. Jika hanya sekolah yang menjalankan pendidikan sendiri, negeri ini basi karena komponen tidak bersinergi)

Di sekolah ini memang tidak pernah ada koordinasi antara pihak sekolah dengan guru pembimbing khusus kecuali ada inisiatif awal dari salah satu pihak. Kira-kira, begitulah yang saya lihat sejak pertama kali menjadi guru pembimbing khusus di sekolah ini, tahun lalu. Padahal sekolah ini sudah berlabel inklusi sejak dulu. Tapi jalinan kerjasama yang kuat tidak tampak ada di sini.

Saya ingin sekali memulai untuk membicarakannya. Saya ingin mengusulkan supaya di sekolah ini ada SENCO. Tapi saya merasa bukan siapa-siapa. Dan guru-guru di sini, selaku bagian integral dari pihak sekolah yang menyelenggarakan pendidikan inklusif, benar-benar tidak terlihat inisiatif. Padahal seharusnya ada sinergisitas yang tercipta di antara guru-guru di sini, di mana sebelumnya mereka sebagai tuan rumah merangkul kami. Tapi ini sama sekali tidak ada. Paling banter hanya ada satu dua orang guru dari pihak sekolah yang sebatas bertanya seperti apa karakteristik anak berkebutuhan khusus yang kami, para guru pembimbing khusus, dampingi atau bimbing. Hanya sebatas itu. Tidak lebih. Pada akhirnya, kami benar-benar seperti teralienasi dari kesatuan kerja pihak sekolah karena kami dikontrak dan digaji langsung oleh masing-masing orangtua dari anak berkebutuhan khusus yang kami bimbing. Kami benar-benar tidak ada sangkut pautnya dengan pihak sekolah kecuali sekadar “menumpang” membimbing anak berkebutuhan khusus saja. Seolah-olah sekolah ini hanya mengejar target menjadi sekolah berlabel inklusi untuk mendapatkan subsidi dari pemerintah yang kami tidak tahu ujungnya ke mana.

Dulu, saat saya mendapatkan tawaran pertama kali di sekolah ini dari Pak Sima, pernah dihubungkan kepada seseorang terlebih dahulu. Dia menjadi koordinator guru pembimbing khusus di sini. Latar belakangnya yang S2 ke-PLB-an tentu sangat sesuai dengan arah kerjanya di sekolah inklusi seperti ini. Tapi dia bekerja di sini tidak lama. Tak sampai dua bulan dari kali pertama saya dibawanya kemari, dia sudah mengundurkan diri. Setelah itu, kekosongan terjadi pada posisi koordinator. Dan, kami yang hanya sebagai guru pembimbing khusus belaka, yang tidak pernah merasa dirangkul oleh pihak sekolah, tidak bisa melakukan suatu hal solutif yang lebih. Karena pernah pada saat itu juga kami mengusulkan kepada pihak sekolah tapi tidak ada kelanjutannya sama sekali. Itu membuat kami untuk berjalan apa adanya saja dalam membimbing anak berkebutuhan khusus di sini. Dikontak orangtua dan sepakat digaji dengan nominal yang telah dinegosiasikan, maka sudah selesailah proses kami untuk bisa bekerja membimbing seorang anak berkebutuhan khusus di sekolah ini.

Dampak panjangnya, proses pembelajaran di sekolah berlabel inklusi ini tidaklah inklusif dan ideal. Tidak ada kerjasama antar berbagai komponen yang terkait dan memiliki peran masing-masing untuk keberhasilannya. Sampai kami merasa, bahwa hanya kamilah sebagai guru pembimbing khusus yang harus bercapai-capai untuk mengakomodir anak-anak berkebutuhan khusus di sini sehingga bisa belajar dan berkembang. Sendirian.

Di sisi lain, bagi saya, pendidikan inklusi sebenarnya adalah suatu wacana yang masih debatable. Ya, inklusivitas dalam pendidikan bahkan terbilang utopis untuk saat ini, ketika kehidupan berjalan tidak semestinya karena hegemoni suatu sistem kehidupan yang rusak dari suatu negara adidaya. Karenanya, kesempatan untuk menyelenggarakan pendidikan yang inklusif tidak akan serta-merta dengan mudah bisa digelar seperti menggelar tikar dengan sekali buka. Saya katakan bahkan tidak akan pernah terjadi sekarang ini. Mengusahakannya secara langsung praktik di lapangan, tanpa disertai dengan kekuatan politik negara adalah usaha parsial yang tidak akan pernah dapat menyelesaikan akar permasalahannya, sejak konsep pendidikan inklusi muncul sebagai jeritan hati sejumlah kaum yang termarjinalisasi dari suatu peradaban.

Ya, konsep pendidikan inklusi hadir sebagai desakan dari pihak-pihak yang termarjinalisasi dan ingin mendapatkan akses terhadap pendidikan. Kaum marjinal yang paling menonjol dalam isu ini adalah penyandang disabilitas. Ironisnya, mereka tersingkirkan justru oleh penyokong peradaban itu sendiri. Tidak sedikit lembaga pendidikan yang bertugas memajukan generasi bangsa nyatanya tidak menerima mereka sebagai bagian dari anak-anaknya yang wajib dididik. Padahal mereka berhak untuk mendapatkan pendidikan.

Di negeri ini saja, konon inklusivitas sudah tercermin sejak bangsa ini berdiri yang terkandung dalam slogan bhinneka tunggal ika. Derivatnya adalah tersusunnya ia dalam berbagai bab, pasal dan ayat dalam Undang-undang. Tapi sayang, implementasinya sama sekali nihil. Seolah tidak ada peraturan sama sekali karena Undang-undang tersebut tidak berjalan, maka kelompok-kelompok yang mendukung hak mereka untuk mendapatkan akses pada pendidikan selalu giat dalam menyuarakan pendidikan inklusif.

Padahal secara instruksional, apa yang diamanatkan dalam Undang-undang memang sudah cukup bagus. Tapi pada kenyataannya, secara general, komponen-komponen penunjang terciptanya pendidikan inklusi nyatanya tidak saling mendukung. Kurang ada sinergisitas antara pihak sekolah, keluarga, dan pemerintah yang notabene paling berperan penuh untuk mengaturnya.

Kita tahu, pendidikan adalah tanggungjawab negara. Karena itulah sistem pendidikan menjadi sesuatu yang mesti diperhatikan baik-baik oleh pemerintah. Kita pun setuju atas pandangan itu. Tapi, mengingat sistem pendidikan hanyalah bagian dari sistem kehidupan bermasyarakat dan bernegara, ia hanya akan berjalan mengikuti bagaimana berjalannya sistem kehidupan tersebut. Dan, disadari atau tidak, sistem kehidupan yang tengah berjalan di negeri ini nyatanya masih berada di bawah kontrol sistem kehidupan kolonial, yakni sekuler materialistik. Sebagai eksesnya, berjalanlah budaya hedonis, kehidupan sosial yang egois dan individualis, tatanan ekonomi yang kapitalis, perilaku politik yang oportunis, sikap beragama yang sinkretis, serta paradigma pendidikan itu sendiri yang materialis.

Maka dalam paradigma pendidikan yang sekuler materialistik tersebut, hilanglah nilai-nilai transendental di semua proses pendidikan; mulai dari peletakan dasar filosofi pendidikan, penyusunan kurikulum dan materi ajar, kualifikasi pengajar, proses belajar mengajar, hingga budaya sekolah sebagai hidden curriculum yang sebenarnya berperan penting dalam penanaman nilai-nilai. Padahal, dari sisi nilai transendental untuk dasar filosofi pendidikan, kemestian pendidikan yang inklusif telah ditunjukkan dalam ajaran yang dibawa oleh utusan Tuhan. Jika nilai transendental untuk dasar filosofi pendidikan tersebut hilang, maka sejatinya kita sedang bermimpi untuk menjalani dan mengalami pendidikan yang inklusif. Sebagai konsekuensinya, pendidikan inklusif jelas akan terus berjalan di bawah paradigma pendidikan yang sekuler materialistik tadi. Maka teranglah perjalanan pendidikan inklusi sekarang ini sejatinya tidak akan pernah tercipta selama sistem yang dipakai negara masihlah sistem cerminan kolonial seperti sekarang ini.

Penyelenggaraan pendidikan inklusi di sekolah ini yang begini adanya, adalah bukti nyata dari efek sistem kehidupan yang kacau tersebut. Mungkin di sekolah-sekolah lain juga seperti ini. Karena sekarang ini, susahnya minta ampun untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif yang sesungguhnya. Paling banter hanya oleh pihak sekolah dan keluarga saja sinergisitas bisa dilaksanakan. Itu pun dengan curahan tenaga dan waktu yang luar biasa. Tapi untuk mengajak kerjasama dengan masyarakat secara umum, ini yang dipastikan tidak akan mudah begitu saja. Kesulitannya melebihi usaha untuk menjalin kerjasama antara pihak sekolah dan keluarga peserta didik.

Para praktisi pendidikan pun, mereka yang memperjuangkan pendidikan inklusi ini, terlepas dari perdebatan, kehilangan fokus untuk menyelesaikan akar permasalahannya. Mereka lebih memfokuskan diri pada apa yang menjadi faktor penyebab secara parsial. Sampainya aspirasi para praktisi, bahkan akademisi, pun tidak lebih menjadi sekadar protes tertulis di meja para pemegang tampuk kekuasaan di atas sana. Karena pada dasarnya, sebagian dari mereka berperilaku politik yang oportunistik disebabkan budaya sekuler materialistik tadi. Sekali pun bergerak, mereka akan berhadapan langsung dengan sistem induk yang sejatinya tidak pernah akan mendukung.

Di lain sisi, dalam diskursus-diskursus tentang pendidikan inklusi saja, baik lisan mau pun tulisan, masih banyak yang mengatakan kelemahan-kelemahannya di samping kekuatannya. Secara tidak langsung, diskursus semacam itu justru membawa masyarakat akademisi dan praktisi menjadi berpikir ulang untuk mendukung pendidikan inklusi tersebut yang memang membutuhkan usaha yang tidak ala kadarnya. Karena pada faktanya, wacana itu bukanlah merupakan suatu tuntutan yang tegas dan urgen. Sekali pun tegas dan urgen, itu hanya berakhir dalam protokol sejumlah konvensi yang sudah sejak dari dulu digelar dan tak membuahkan hasil. Tidak pernah. []

Ada yang ingin disampaikan?